Scrool Ke Bawah
<script type="text/javascript"> atOptions = { 'key' : 'a3e2e0c47e9f025230d08789090917a3', 'format' : 'iframe', 'height' : 250, 'width' : 300, 'params' : {} }; document.write('<scr' + 'ipt type="text/javascript" src="//www.topcreativeformat.com/a3e2e0c47e9f025230d08789090917a3/invoke.js"></scr' + 'ipt>'); </script>
Dr. Fachrudin FaizHikmah

Perspektif Bahagia dalam Filsafat Muslim

205
×

Perspektif Bahagia dalam Filsafat Muslim

Sebarkan artikel ini
Perspektif Bahagia dalam Filsafat Muslim

Perspektif Bahagia dalam Filsafat Muslim – Filsafat Islam memiliki pandangan unik terkait konsep kebahagiaan yang dijelaskan oleh Dr. Fahruddin Faiz dalam kajian filsafatnya. Dalam sesi terakhir ngaji filsafat, beliau mengulas tema kebahagiaan dari perspektif Barat dan mencatat adanya dua aliran utama, yaitu aliran materialis dan non-materialis.

Menurut Dr. Fahruddin Faiz, aliran materialis cenderung melihat kebahagiaan sebagai suatu pencapaian materi dan kepuasan individu semata. Beliau merujuk pada pandangan Haji Hamka yang menyoroti tokoh-tokoh Barat seperti Henrik Ibsen dan Thomas Hardy yang mengukur kebahagiaan dari aspek material semata.

Iklan (Gulir)
Scroll kebawah untuk lihat konten

Dalam konteks ini, Haji Hamka mengutip pernyataan Ibsen yang menyatakan bahwa mencari kebahagiaan hanya akan menghabiskan umur saja. Pencarian itu dianggap melelahkan, seakan-akan manusia terus menerus melangkah menuju jurang yang sangat dalam. Hal ini menciptakan paradoks, di mana upaya mencari kebahagiaan justru dapat membuat seseorang tidak bahagia.

Dr. Fahruddin Faiz juga mengkritisi pandangan ini dengan mengingatkan bahwa orang yang selalu mencari kebahagiaan pada dasarnya sedang tidak bahagia. Sebagai solusi, beliau mengajak untuk menikmati hidup saat ini dan tidak terus-menerus mencari bahagia di masa depan.

Baca Juga :  Membangkitkan Semangat: Obat Malas Rahasia Kesuksesan

Selain aliran materialis, Dr. Fahruddin Faiz juga menyoroti aliran non-materialis yang lebih menekankan pada aspek spiritual dan kontribusi sosial. Beliau merujuk pada tokoh-tokoh seperti Leo Tolstoy dan Bertrand Russell yang menganggap kebahagiaan terletak pada kemampuan berbagi dan berkontribusi kepada sesama.

Dalam pemahaman ini, kebahagiaan bukan hanya bersifat individualistik, melainkan terkait dengan kemampuan seseorang untuk berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat. Hal ini sejalan dengan pandangan para filosof Muslim yang menekankan keseimbangan antara kebahagiaan jasmani dan rohani, kebahagiaan individu dan masyarakat, serta kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dr. Fahruddin Faiz juga merujuk pada pandangan beberapa filosof Muslim, seperti Ibnu Khaldun dan Imam Ghazali. Menurut mereka, kebahagiaan terletak pada kehidupan yang seimbang dan taat pada garis-garis yang ditentukan oleh Allah. Dalam pandangan Imam Ghazali, puncak kebahagiaan adalah mencapai makrifat, yaitu pemahaman yang mendalam akan keindahan dan keilahian.

Dengan merangkum pandangan-pandangan ini, Dr. Fahruddin Faiz mencoba membuka wawasan pemirsa terhadap konsep kebahagiaan dalam perspektif filsafat Islam. Melalui pemahaman ini, kebahagiaan bukanlah hanya pencapaian materi semata, melainkan juga keseimbangan jasmani dan rohani serta kontribusi positif pada masyarakat.

Baca Juga :  Menggali Makna Tirakat: Mengapa Orang Jawa Cenderung Mudah Mengalah?

Dr. Fahruddin Faiz melanjutkan penjelasannya dengan merinci konsep kebahagiaan menurut beberapa tokoh filosof Muslim. Salah satunya adalah pandangan Imam Ghazali yang dianggap sebagai salah satu pemikir penting dalam sejarah keislaman. Imam Ghazali memandang bahwa kebahagiaan sejati dapat dicapai melalui makrifat, yaitu pengetahuan dan pengenalan yang mendalam terhadap keberadaan Allah.

Konsep makrifat ini sejalan dengan pemahaman Thomas Aquinas dalam tradisi filsafat Barat, yang menyatakan bahwa puncak kebahagiaan adalah melalui Beatific Vision, penglihatan yang membebaskan jiwa dari keterbatasan dan membawanya menuju pemahaman yang lebih tinggi.

Namun, Dr. Fahruddin Faiz menekankan bahwa makrifat tidak dapat dibayangkan dengan mudah. Keindahan dan keilahian Allah adalah pengalaman yang hanya bisa dirasakan secara langsung. Oleh karena itu, kebahagiaan sejati yang bersumber dari makrifat menuntut usaha dan perjalanan spiritual yang mendalam.

Beliau juga mengaitkan konsep kebahagiaan dengan keseimbangan dalam hidup, baik dari segi jasmani maupun rohani. Pandangan ini menegaskan bahwa kehidupan yang seimbang antara urusan duniawi dan spiritual dapat membawa manusia menuju kebahagiaan yang hakiki.

Baca Juga :  Menggali Filosofi di Balik Tindakan Mengalah: Kelebihan dan Hakikatnya

Selain itu, Dr. Fahruddin Faiz menjelaskan bahwa dalam konteks kebahagiaan, Islam juga mengajarkan tentang keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara kebutuhan individu dan kepentingan bersama. Konsep kebahagiaan dalam Islam tidak hanya berfokus pada keuntungan pribadi, melainkan juga pada kontribusi positif terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar.

Dengan merangkum pandangan-pandangan tersebut, Dr. Fahruddin Faiz mengajak kita untuk lebih mendalami makna sejati kebahagiaan. Bagi beliau, kebahagiaan bukanlah tujuan akhir yang hanya dapat dicapai dengan mencapai target-target materi, melainkan sebuah perjalanan spiritual dan kesadaran akan keberadaan Allah yang melampaui batas-batas dunia fana ini.

Dalam kesimpulannya, Dr. Fahruddin Faiz memberikan pesan untuk menjalani hidup dengan seimbang, mengutamakan nilai-nilai spiritual, dan berkontribusi positif pada masyarakat. Pandangannya memberikan inspirasi bagi para penikmat filsafat dan pemikir Muslim untuk menjelajahi lebih dalam konsep kebahagiaan dalam pandangan Islam.

Harap Matikan AdBLock Iklan Atau Gunakan Browser Yang Mendukung Iklan